Dinding Rumah Dipasangi Tulisan Ini, Puluhan Warga Jateng Mundur Dari Peserta Keluarga Miskin
Senin, 30 September 2019
Edit
Loading...
Loading...
Ribuan warga penerima Program Keluarga Harapan (PKH) di Jawa
Tengah mengundurkan diri dari statusnya sebagai Keluarga Penerima Manfaat (PKM)
karena berbagai alasan.
Fakta yang ada di Brebes, Pemalang, Pekalongan, Batang,
Cilacap dan lainnya ada puluhan ribu KK menolak bantuan itu karena merasa sudah
mampu.
Dan ada juga karena alasan malu rumahnya ditulisi Miskin.
Dinding rumah mereka disemprot cat hitam bertulisan:
“Keluarga Miskin Penerima Bantuan”.
Ditambah tulisan “Ya Allah sejahterakanlah saudara kami ini,
tapi jika mereka berpura-pura miskin maka azabmu amatlah pedih”.
Mereka tak rela dinding rumahnya ditulis kalimat tersebut.
Namun, sejumlah warga menolak bantuan PKH dengan alasan
sudah mampu, dengan harapan bantuan itu dialihkan kepada keluarga lain yang
lebih berhak.
Sebut saja Mursinah (35), warga Desa Karangtalun Lor RT 2 RW
3, Kecamatan Purwojati, Kabupaten Banyumas.
Sambil memangku anak balitanya, Mursinah mengaku sudah
mantap mundur dari peserta PKH (Program Keluarga Harapan).
Alasannya, suaminya sudah bisa memenuhi kebutuhan keluarga.
“Iya alhamdulillah suami setuju kalau saya mundur. Suami pun
sekarang pendapatannya sudah lebih baik, sejak jadi sopir tetap di Jakarta.
Karena sebelumnya hanya kernet,” jelasnya kepada tim Tribun Jateng saat ditemui
di rumahnya.
Mursinah tidak menjelaskan secara detail berapa pendapatan
suami saat ini. Namun yang pasti, untuk memenuhi segala kebutuhan untuk
keluarganya sudah cukup.
“Tiap minggu bisa lah untuk jajan anak-anak. Termasuk untuk
kebutuhan lainnya juga,” tambah ibu rumah tangga ini.
Kemantapannya untuk mundur dari peserta PKH sudah
disampaikan kepada pendamping PKH yang ada di desanya.
Bahkan, Mursinah sudah menyampaikan niatan itu sebanyak tiga
kali setiap ada perkumpulan kelompok PKH.
“Niatan untuk mundur sudah saya sampaikan tiga kali setiap
ada perkumpulan kelompok PKH. Itu bulan Agustus kemarin.
Pendamping pun juga kerap meyakinkan kepada saya, apakah
tetap ingin mundur. Karena sudah niat ya saya dan keluarga sudah mantap,”
ujarnya.
Karena baru saja dicatat sebagai peserta PKH yang mundur,
maka Mursinah tetap masih menerima dana bantuan PKH hingga tahap terakhir di
tahun 2019.
“Mulai awal 2020 baru saya nanti tidak dapat lagi. Tidak
apa-apa, masih ada yang lebih membutuhkan,” imbuhnya.
Dulu Mursinah merupakan peserta PKH sejaka 2013 pertama
program itu masuk Banyumas.
Saat menjadi PKM dia sudah menikah namun masih tinggal
bersama orangtuanya.
“Saat suami masih jadi kernet, ya bantuan PKH saya gunakan
untuk kebutuhan anak sekolah. Karena kebetulan anak pertama sudah SD dan yang
kedua masih TK,” terang Mursinah.
Setiap pencairan, dirinya mendapatkan Rp 825 ribu untuk dua
orang anaknya yang sekolah.
Uang tersebut masuk di dalam rekeningnya langsung tanpa ada
potongan apapun.
“Kalau sekarang sudah enak masuk langsung ke rekening. Dulu
saat pertama dapat, saya harus ke kantor pos untuk ambil uangnya,” tuturnya.
Setahun Dua Kali Update Data
Dinsos Jawa Tengah, melalui Kabid Perlindungan dan Jaminan
Sosial, Sarjimo, sebutkan peserta PKH di Jateng terbagi mulai dari tahun 2011
hingga 2015.
“Yang pertama gabung di tahun 2011 adalah Kabupaten Cilacap,
Brebes, Pemalang, Wonogiri, Semarang, Rembang, dan Sragen. Kemudian yang
terakhir bergabung yakni Kabupaten Boyolali, Wonosobo, Kota Tegal, Kota
Magelang, dan Kota Surakarta,” tuturnya.
PKH juga merupakan bantuan sosial bersyarat, yang mewajibkan
penerimanya melakukan beberapa tindak lanjut yang dibagi dalam tiga komponen.
Komponen kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial.
“Untuk ibu hamil wajib rutin memeriksakan kehamilannya
minimal 4 kali. Kewajiban kontrol kesehatan juga dilakukan untuk bayi hingga
usia 5 tahun.
Untuk pendidikan, siswa wajib hadir minimal 85%, dan untuk
disabilitas atau lansia harus benar-benar dirawat sesuai kebutuhannya,” jelas
Sarjimo.
Dalam satu keluarga penerima bantuan sosial PKH harus
memenuhi minimal tiga komponen. Di antaranya komponen kesehatan yang meliputi
ibu hamil/nifas dan anak usia di bawah 6 tahun.
Lalu, komponen pendidikan yang terdiri dari siswa SD, SMP,
dan SMA.
Kemudian komponen kesejahteraan sosial meliputi disabilitas
dan lansia di atas 60 tahun.
“Jika di dalam satu keluarga ada tiga komponen itu, maka
mereka bisa banyak mendapatkan dana bantuan. Karena setiap komponen nominal bantuannya
berbeda-beda,” ucapnya.
Sarjimo mengakui masih banyak laporan yang disampaikan
kepadanya jika ada keluarga miskin yang tidak mendapatkan bantuan sosial PKH.
“Masih banyak dan laporan itu hampir setiap hari ada.
Sebenarnya dasar persoalan itu ada di basis data yang dimiliki oleh Kementerian
Sosial.
Bisa jadi, data tahun 2015 masih digunakan hingga saat ini.
Sehingga mereka yang di tahun itu miskin, sekarang mungkin
sudah sejahtera,” bebernya.
Baginya update data secara rutin sangat mendesak, guna untuk
mengurangi penerima bantuan yang tidak tepat sasaran.
“Tidak aneh jika kemudian yang mampu justru dapat bantuan.
Update data sangat mendesak dan harus dilakukan secara rutin.
Tapi rentangnya juga tidak terlalu lama. Saat ini validasi
atau perbaikan data dilakukan setahun dua kali,” papar dia.
Ia menambahkan, percepatan perbaikan data tergantung dari
setiap desa.
Sebab, data tersebut yang nantinya akan diinput oleh dinas
sosial tiap Pemkab/Pemkot untuk disetorkan ke Kementerian Sosial.
“Kalau desanya lama memberikan data, penyaluran bantuan juga
akan terganggu. Bisa saja terjadi lagi warga yang benar-benar miskin justru
tidak mendapatkan bantuan,” imbuhnya.
Selain perangkat desa, pendamping PKH yang ditunjuk langsung
oleh Kementerian Sosial juga sangat berpengaruh.
Sebab, pendamping memiliki tugas melakukan pertemuan
peningkatan kemampuan keluarga, verifikasi komitmen anggota KPM PKH,
pemutakhiran data, dan fasilitasi program komplementer.
“Bagi yang sudah mampu dan masih menerima bansos PKH,
pendamping wajib memberikan motivasi supaya mereka mengundurkan diri dari
kepesertaan PKH. Ini saya akui tidak mudah. Karena kesadaran untuk mengundurkan
diri itu sulit,” katanya.
Setiap pendamping PKH murni hasil seleksi yang dilakukan
oleh Kementerian Sosial.
Mereka diseleksi layaknya seleksi CPNS.
“Sebelum menjadi pendamping, mereka juga mendapatkan
beberapa pelatihan. Idealnya, setiap pendamping PKH mendampingi 300 KK.
Tapi bisa juga lebih, karena ada beberapa pendamping yang
resign maupun diterima PNS. Bahkan ada pendamping yang harus melayani 600 KK,”
ungkap Sarjimo.
Penempelan stiker maupun tanda yang menyatakan bahwa
penerima PKH adalah keluarga yang benar-benar miskin, diakui Sarjimo murni
kreatifitas setiap Pemda.
“Pernah ada himbauan dari Kemensos terkait hal itu. Tapi
tidak semua Pemda melakukannya. Walaupun tujuannya baik supaya penerima tepat
sasaran, namun ada juga yang mempertimbangkan beberapa hal,” ujarnya.
Berdasarkan data dari BPS Jateng, angka kemiskinan kian
turun. Dari yang semula 16,21% (2011) dan terakhir jadi 11,32 (2018),”
pungkasnya.
Sumber: islamidia.com
Loading...
